memuat…
Larangan impor Kereta Api Rel Listrik (KRL) akan berdampak pada anggaran Kewajiban Pelayanan Publik atau KRL PSO. Foto/MPI/Faisal Rahman
JAKARTA – Direktur Utama (Direktur) PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo mengatakan larangan impor Kereta Api Listrik (KRL) akan berdampak pada anggaran untuk Kewajiban Pelayanan Publik atau PSO KRL.
Pasalnya, menurut dia, kondisi keuangan PT KCI untuk membeli KA baru sangat terbatas. Pasalnya, dengan PSO, keuntungan PT KCI hanya dipatok 10%.
Sementara untuk pengadaan KA baru, jika terpaksa harus membeli produk dalam negeri, setidaknya PT KCI perlu investasi sekitar Rp 800 juta-Rp 1 triliun.
“Sekarang sedang dipelajari efeknya (pembelian KA baru),” ujarnya dalam rapat dengan Komisi VI, Senin (27/3/2023).
Menurut Didiek, harga 10 set KA impor sebenarnya setara dengan harga satu set KA produksi dalam negeri. Perbedaan yang signifikan ini disebabkan biaya produksi dalam negeri saat ini yang masih cukup mahal.
Menurut dia, biaya 1 rangkaian KRL bekas yang bisa dioperasikan adalah Rp 1,6 miliar, sehingga untuk memenuhi kebutuhan 10 rangkaian KA dibutuhkan anggaran sekitar Rp 16 miliar.
Sedangkan jika ingin membeli produk baru dari dalam negeri, harga satu set kereta api dibanderol Rp 20 miliar. “Sehingga dampak biaya operasional pasti meningkat,” ujarnya.
Pembengkakan biaya operasional akan berdampak pada dua kemungkinan. Mungkin tarif KRL akan dinaikkan, atau PSO akan menanggung beban biaya operasional yang meningkat.
Didiek menjelaskan kondisi keuangan PT KAI selama pandemi mengalami kerugian sebesar Rp 1,7 triliun pada 2020, dan Rp 400 miliar pada 2021.
Jika perlu mendapatkan trend baru, harga saat ini cukup tinggi, tentunya akan menambah beban keuangan perusahaan.
“PT KAI kini juga mendapat penugasan LRT Jabodebek, dan Kereta Cepat Jakarta – Bandung, akibat penugasan yang sangat dalam, apalagi pandemi kemarin libur 2 tahun,” jelas Didiek.
(eng)